NAMA: RENI SRIWAHYUNI
NIM/TM : 54962 / 2010
JURUSAN : KIMIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebiasaan-kebiasaan yang ada pada masyarakat Minang saat ini adalah kebiasaan yang telah keluar dari budaya Minang itu sendiri. Banyak hal negative yang terjadi pada kehidupan masyarakat Minang sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti halnya, dapat kita lihat dari segi pakaian anak muda di Minang. Dimana mereka meniru kebudayaan barat dan meninggalkan kebudayaan Minang itu sendiri. Memakai pakaian yang mengundang seseorang berbuat maksiat. Selain itu dari segi tata karma, kebudayaan antara mamak dengan kemenakan itu sudah jarang kita jumpai karena saat ini mamak dan kemenakan tidak punya batas aturan seperti orang-orang Minang terdahulu.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai tugas akhir pembelajaran Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Untuk itu setelah makalah ini dibuat dengan tujuan, yaitu:
Ø Memahami pengertian kebudayaan
Ø Menumbuhkan rasa kebudayaan yang kental di negri ini
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan adalah sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Sehingga muncul istilah Cultural-Determinism yang diungkapkan oleh Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski yaitu bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Secara terminologi definisi kebudayaan sangat beragam, berdasar dari catatan Supartono, 1992, terdapat 170 definisi kebudayaan. Catatan terakhir Rafael Raga Manan ada 300 buah.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain- lain, yang ke semuanya ditunjukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2. 2. Masalah Kebudayaan dalam Kehidupan Sehari-hari
Masalah budaya sekarang banyak diungkapkan oleh orang-orang di seluruh dunia. Contohnya saja yang kita lihat di dalam kehidupan masayakat Minangkabau yang mana kebudayaan di Minangkabau ini telah memudar. Hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya, globalisasi berhasil membunuh kebudayaan Nusantara. Inilah perang terbesar abad milenium ini, benturan peradaban seperti teori Samuel P Huntington yang menjadi kenyataan.
Sedih rasanya melihat nasib bangsa ini. Tepatnya mungkin etnis Minangkabau, etnis kita. Orang Minang kehilangan orientasi, seperti orang bingung. Bukan saja suku Minang, negeri seribu suku bangsa ini, juga telah kehilangan identitas. Dulu, di zaman Orde Baru, kebudayaan Nusantara diseragamkan menjadi kebudayaan nasional sesuai selera penguasa. Budaya-budaya lokal sulit tampil ke panggung nasional, selain dimobilisasi untuk kepentingan penguasa.
Sekarang, setelah 13 tahun reformasi, nasib suku bangsa ini dijajah budaya Barat. Melalui rekayasa kebudayaan seperti teori Samuel P Huntington, peradaban Barat sukses merebut kearifan lokal negeri ini. Kebudayaan Nusantara telah berkiblat ke negara-negara Barat melalui pencanangan era globalisasi.
Apa bedanya orang Minang dengan suku lain? Dilihat untuk sekarang, kita sedikit sulit untuk menjawabnya. Selain karya seni dan bahasanya, harus diakui bahwa nyaris tidak ada lagi bedanya antara etnis satu dengan yang lainnya di tanah air ini. Tidak Minang, Bugis, Sunda, Batak atau lainnya, rasanya sama semua.
Bila ditanya sama orang-orang pintar di kampus, budayawan atau tetua adat, paling-paling jawaban yang didapat sekadar teori dan nostalgia kejayaan Minangkabau tempo dulu. Supaya meyakinkan bahwa budaya Minang itu hebat dan luhur, orang-orang pintar itu menyelipkan petatah-petitih seperti “Orang Minang itu siak (kuat agamanya), beradat, tahu jo ampek (sopan santun dan ramah), egaliter, pekerja keras, rasa kekeluargaan tinggi. Kalau dulu begini, begitu, dan seterusnya …...” Begitu kira-kira teorinya.
Sekarang? Orang Minang itu hanya bisa bicara. Sedikit bedanya dengan pembohong. Lalu, apa bedanya berlama-lama di warung dengan budaya malas? Katanya cerita di warung untuk bersosialisasi dan berbagi informasi. Nyatanya, lebih sering bergosip dan berjudi. Apa itu benar? Lihat saja sendiri. Kadang-kadang, mamak dan kemanakan duduk semeja. Tidak di orang sekitar kita dan ditempat lain, semuanya sama saja.
Mesti berlapang dada seperti acara baralek dimeriahkan tampilan artis organ tunggal bergaya seronok. Tua-muda, bujang-gadis, bahkan anak-anak hanyut dalam hentakan house music. Biar lebih meriah, ada juga pesta miras hingga berjudi. Pernah suatu kali ada orang dari luar, terheran-heran menghadiri acara pernikahan seorang temannya di Piaman.
Sekitar empat tahun lalu, pernah ada rencana pemerintah nagari melarang suguhan artis erotis, pesta miras dan berjudi saat pernikahan atau pesta kampung, sekarang pak wali nagari kita mungkin mengidap penyakit lupa.
Soal pergaulan bebas anak muda, jangan ditanya. Jumlah penderita HIV/AIDS, kasus narkoba, “negeri buya” ini menempati rangking 10 besar nasional. Jangan tanya soal industri otak, jumlah siswa SMA sederajat yang tidak lulus ujian nasional (UN) di Sumbar rangking delapan terburuk. Kalau UN SMP sederajat, empat terakhir nasional.
Di Payakumbuh, baru-baru ini dihebohkan oleh kasus aborsi. Di Dharmasraya, menjamur kafe remang-remang. Sebelumnya di Pasaman, heboh oleh berita puluhan muda-mudi diduga terinfeksi HIV/AIDS. Kalau di Padang, tidak asing lagi. Bukan saja tempat-tempat hiburan atau hotel-hotelnya, objek-objek wisata pantainya disulap untuk “mesum”. Yang terbaru, rumah kos dijadikan kumpul kebo oleh mahasiswa.
Soal berpakaian? Anak gadis Minang termasuk fashionable. Celana jeans hipster alias tampak celana dalam, sudah biasa. Cewek bersinglet alias tank top ke luar rumah, mulai bertebaran. Sekarang, wanita bercelana pendek ketat (hotpants) yang bikin jantung lelaki berdegup kencang, jadi santapan sehari-hari.
Kisah lainnya, akhir-akhir ini di “negeri buya” krisis buya. Di pelosok-pelosok nagari, masjid dan surau kesulitan mencari ustad. Jangankan untuk wirid, mencari khatib Jumat saja susah. Ustadnya itu ke itu juga. Bisa ditebak, pengajiannya pun berputar di situ-situ juga. Risaukah tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin? Gundahkah para orangtua-orangtua Minang? Sebanyak yang risau, lebih banyak lagi yang tidak peduli. Di jalan-jalan, ibuk-ibuk berbaju kurung berjalan dengan anak gadisnya berpakaian seksi, hal yang lumrah.
itu kan pikiran sinis dan sentimen sebagian orang saja. Itu hanya “nila setitik rusak susu sebelanga”. Jangan digenerasirlah. Dibandingkan daerah lain, orang Sumbar masih teguh memegang budayanya. Orang-orang pintar di daerah ini sibuk mencari alasan pembenar.
Setelah Orde Baru, kebudayaan bangsa ini dibajak budaya Barat. Orde Baru sukses mempropaganda budaya Pancasila sesuai kehendaknya melalui TVRI, RRI dan media massa, pada era reformasi, Barat berhasil menanamkan budayanya melalui tayangan-tayangan sinetron dan informasi dengan mengkapitalisasi media.
Orang-orang Minang, dan suku lainnya di Tanah Air, kini semakin pragmatis, individual, hedonis dan konsumtif. Paham inilah penyebab kehancuran kita. Seperti sudah menjadi identitas dan budaya Indonesia, termasuk etnis Minangkabau. Bangga meniru Orang Barat, minder mengenakan identitas leluhur. Padahal, bapak pendiri Republik ini yang juga banyak orang Minang, menekankan kekuatan budaya bangsa sebagai unsur tangguh dalam pembangunan bangsa dan karakter. Sekarang yang terjadi yaitu pembunuhan karakter.
Buruknya budaya daerah ini, tecermin dari perilaku pengendara di jalan raya. Orang-orang tidak taat aturan dan tertib hukum, saling serobot, menghardik, tidak beretika, dan seterusnya. Potret moral, budaya instan dengan jalan pintas, pragmatis, dan individualistis terlihat di jalan raya. Terjadi budaya premanisme. Budaya menyesatkan itu, tak jarang ditiru rakyat dari perangai tungku tigo sajarangan. Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai sering membawa keburukan. Memamerkan budaya pragmatis-konsumtif kepada kemanakan. Ke mana-mana bercerita pendidikan karakter, tapi tindak tanduknya tidak berkarakter. Di mimbar mengajak orang berbuat baik, di rumah, anak istri buya bergaya menor dan mewah. Gelar titel, haji dan datuak di depan dan belakang nama sapanjang tali baruak, tapi korupsi jalan terus. Padahal, para orangtua dulu memberi nama-nama Islam pada anaknya agar berperilaku sesuai namanya, di zaman serba uang ini sepertinya tidak berlaku lagi. Nama boleh pakai Muhammad (Nazaruddin), atau (Burhanuddin) Abdulllah, Al Amin dan nama-nama Islam lainnya, yang pencuri tetap saja pencuri.
Kebudayaan yang telah hilang dari negri kita ini seharusnya disadari oleh kita khususnya para generasi muda. Kita bisa membuat semuanya membaik dan mengembalikan kebudayaan Minang yang telah hilang itu di mulai dari diri sendiri. Dampak positif yang kita perlihatkan ke orang lain akan membuat orang lain akan ikut serta merubah sebuah kesalahan yang telah terjadi de negri tercinta kita ini. Kita memberikan contoh-contoh yang baik kepada generasi-generasi yang akan memegang peranan penting di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, pendidikan karakter yang kini gencar disosialisasikan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, diyakini tidak bakal mempan jika hanya seruan, imbauan dan teori di sekolah. Melainkan, harus dengan contoh dan teladan dari tungku tigo sajarangan. Saat ini, Sumbar butuh tokoh-tokoh berkarakter.
PENUTUP
KESIMPULAN
· Kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
· Perwujudan kebudayaan yaitu benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain- lain.
SARAN
· Mulailah menanamkan kebudayaan Minang dari diri sendiri
· Menggunakan kebudayaan Minang dimana pun kita berada di saat kondisi dan waktu yang memungkinkan.
Daftar Pustaka
Hahaaiii
BalasHapus